Monolog Retorika Lelaki Senja

Senin, 31 Mei 2010 gusmel riyadh

Retorika Lelaki Senja
Oleh : R Giryadi

SEBUAH LEMARI TUA BERDIRI KOKOH. DI SEKITARNYA BEBERAPA INTERIOR TUA KELIHATAN TAK TERAWATT. BEBERAPA EKOR TIKUS BERSLIWERAN. MEREKA SALING BEREBUT BARANG CURIAN.
DISAAT KEGADUHAN MEMUNCAK, TIBA-TIBA PINTU LEMARI TUA TERBUKA PERLAHAN-LAHAN. PARA TIKUS MELESAT MENGHILANG. PINTU LEMARI TUA MENUTUP CEPAT : BRAK! SEPI.
PINTU LEMARI TUA KEMBALI TERBUKA, PERLAHAN. DARI BALIK PINTU MUNCUL WAJAH SESEORANG. MATANYA MENYELIDIK. SETELAH AMAN, SESEORANG ITU KELUAR DARI LEMARI. SESEORANG ITU MENENTENG KOPER ATAU BUNGKUSAN LAIN.
TIBA-TIBA BEBERAPA TIKUS MELINTAS SEPERTI FORMULA 1. SESEORANG MELONCAT KE TEMPAT YANG LEBIH TINGGI. TIKUS-TIKUS BERPUTAR-PUTAR. SESEORANG BERTAHAN DI TEMPAT YANG LEBIH TINGGI. DI TEMPAT ITU SESEORANG YANG KELIHATAN RAPUH, MENYAPA SIAPA SAJA, DIWAKTU KAPAN SAJA.

Selamat apa saja dan selamat kapan saja. (Clingukan melihat situasi sekitarnya) Baiklah, dalam kesempatan ini, sebelum drama ini berlangsung, ijinkan saya mengutip sebuah kalimat yang cukup terkesan dihati saya. “Kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada!” (1) Pasti anda ingat dengan kalimat itu. Nah, kalau diperkenankan kalimat itu akan saya kutip menjadi, “Kalau saya mati, saya tidak bisa kurupsi!” Hiiiii. Makanya sekalian masih hidup sandiwara kurupsi ini harus saya jalani dengan cara seksama dan dalam tempo (kalau bisa ) selama-lamanya.

TERTAWA.



(Kepada para tikus) Sudah, pergilah! Tugasmu sudah berakhir! Terlalu verbal!

SETELAH TIKUS BERLALU.

Berkurupsi sudah menjadi garis nasib saya. Karena itu dalam melakukannya tidak boleh setengah-setengah. Meski banyak dicaci-maki orang, saya harus jalankan amanat nasib ini dengan sebaik-baiknya.
Ya, memang terpaksa harus saya jalani. Sebagaimana Mas Jumena Martawangsa, saya harus menerima nasib sebagai aktor (dalam tanda petik) untuk menjalankan peran yang meskipun berat, harus menerimanya dengan iklas, dengan lapang dada.
Saudara-saudara, banyak ajaran yang mengajarkan pada kita, bahwa kita harus iklas menerima nasib. Saya memang tidak bisa mengelak untuk berkelakuan seperti ini. Saya tidak ingin munafik dalam hal ini. Ketika saya harus melakukan sesuatu, selagi ada kesempatan semua akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya, tanpa menunggu-nunggu dan melewatkan kesempatan itu berlalu begitu saja.
Sampulung pernah berkata, “Menjadi tokoh nasib sama sekali tidak ada enaknya karena selalu dicemooh oleh hati, namun berlangsungnya lakon tak dapat dihalangi. Silahkan menyaksikan dan mencemooh diri saya, sudah tentu setelah sudara-sudara memuja dan menjilat-jilatnya.” (2)

MELETAKAN TAS (KOPER) ATAU APA SAJA YANG TERKESAN BUNGKUSAN UANG. KEMUDAIN MEMBUKANYA. DI DALAMNYA ADA PULUHAN TOPENG DAN DASI. SETELAH MENYERINGAI, SESEORANG MEMBETULKAN DASI. MEMAKI TOPENG.

Sampulung, saya menghargai pendapat panjenengan. Nyatanya menjadi tokoh nasib memang tidak enak, apalagi peran yang harus dijalani tidak baik di mata orang lain. Saya harus menerima nasib seperti ini dengan iklas dan tulus untuk menjadi bajingan sebagai jalan hidup. Ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan, seperti sampeyan tahu, berapa nomer lotre yang sedang dalam genggaman sampeyan. Sementara orang-orang blingsatan, menduga-duga, dan menghargai nasibnya sendiri dalam jumlah sekian rupiah. Hmmmm, kok murah betul nasib itu?
Mas Jumena, saya pingin tahu, apakah yang sampeyan rasakan saat itu? Apa yang terjadi dalam diri Mas, ketika melihat disekeliling sampeyan semua menjadi pecundang, sementara maut telah menjelang? Saya kira jawaban Mas, pasti tidak berbeda jauh dengan yang saya pikirkan, dan juga sampeyan pikirkan.
Kesetiaan hanya omong kosong. Itu hanya akal bulus, agar kita menjadi terlena dan tidak tahu, sebenarnya di sekeliling kita dunia gelap gulita. Dunia para pencoleng memerankan sebagai manusia suci. Dan manusia suci memerankan sebagai pencoleng. Dunia sudah jungkir balik. Dan memang dunia diciptakan jungkir balik, agar manusia mempunyai keputusan yang tegas. Kalau hitam, hitam. Kalau putih ya putih. Itu saja prinsipnya. Sekarang, yang putih bisa berubah jadi kelabu. Begitu juga yang hitam, bisa berubah jadi abu-abu. Semua tidak hitam dan tidak putih. Inilah yang mengacaukan dunia. Tidak jujur!
Maka dalam hal ini saya saya sangat setuju dengan Turah isteri Korep yang sangat benci dengan kemiskinan. Karena tidak iklasnya miskin, ia berkali-kali mencari pesugihan dengan jalan berjudi, meski berkali-kali pula jantungnya dibuat berdebar-debar dan hasilnya kosong mlompong, bahkan harus rela menjual kehormatannya demi memperjuangkan nasibnya. (3)
Ini pilihan yang jujur. Dari pada setengah setengah, apa jadinya? Emangnya hidup hanya dijejali mimpi-mimpi. Hidup diawang-awang. Kalau mau kaya lakukan apa saja. Jangan kemiskinan jadi alasan untuk tidak berbuat sesuatu.
Sampulung, sampeyan memang harus disikapi lain dan lain. Tidak hanya dengan kata-kata iklas dan tulus. Terkadang harus melawan sampai titik darah penghabisan. Tergantung sampeyan datang sebagai apa. Kalau sampeyan datang dalam bentuk kemiskinan, maka tidak heran kalau Turah menggadaikan kehormatannya, dan juga Euis berani mencederai kesetiaan Mas Jumena yang sudah buyuten itu. (4)
Ini sangat realistis. Dari pada menjadi pecundang semacam Korep suaminya yang takut menjadi kaya, sehingga ia berlaku sok jujur dan sok relegius. Sok menerima nasib apa adanya. Namun sebenarnya dihatinya yang sok suci itu tersimpan niat licik, selicik Bandar (5) yang bisa memainkan keluarnya nomer lotre. Jangan munafik, ketika ketidakberdayaan menjerat. Ini untuk memperteguh iman. Agar tidak takut bertindak.
Kenapa Turah tidak takut menjadi lonthe? Karena Korep sendiri tidak takut mencederai rumah tangganya dengan membabi buta. Kenapa Euis rela bermesraan dengan Juki, Marjuki maksud saya, di depan Jumena Martawangsa yang otaknya sudah digergaji ketakutan dan ketidakpercayaan pada orang-orang disekelilingnya? (6)
Saya kira terkadang kejujuran bisa menjadi buah simalakama. Mengapa kita harus mengantarkan nasib pada ketidak pastian. Kalau kita ingin melakukan sesuatu, lakukan. Kenapa harus ditutup-tutupi?
Mas Jumena, saya sangat setuju dengan ketegasan sampeyan, mempertanyakan cinta Eusi. Karena hati manusia selalu berbeda dengan mulutnya. Kadang dihatinya berkata tidak tetapi dimulutnya berkata ya.
Lihat saja sekarang? Siapa yang tidak menjadi pecundang bagi dirinya sendiri. Semua telah menjadi pecundang. Namun mereka hanya lihai menutupi kebusukannya. Siapa sih yang tidak suka duit? Siapa yang mau hidup melarat? Siapa yang mau anak turunnya juga menjadi gembel? Siapa yang kuat ujian menjadi manusia miskin, hidup dikolong-kolong jembatan, memakan makanan dari hasil mengorek-ngorek tong sampah, penghasilan hanya dari mengemis. Kalau kepepet sedikit mencopet atau menodong.?
Sekarang baik buruk itu bukan sesuatu yang penting. Yang terpenting bisa membuat semua itu meyakinkan. Kalau Anda merasa berbuat buruk maka Anda harus meyakinkan bahwa yang sedang Anda kerjakan itu baik. Harus yakin! Dengan demikian semua pasti yakin, meski yang Anda perbuat adalah sesuatu yang buruk.
Tidak boleh malu. Betul ini. Tidak boleh malu. Kalau malu maka misi Anda untuk meyakinkan itu tidak berhasil. Sampeyan pasti ingat, bagaimana dengan tidak malunya Emak, mengatakan pada Abu, anaknya yang korengan dengan sebutan Pangeran yang rupawan. Dan karena Emak meyakinkan, sang anakpun merasa sebagai pangeran. Padahal mereka adalah gembel yang diperbudak mimpi. Pangeran edan! (7) Tetapi, mereka sungguh meyakinkan. Sehingga kemiskinan yang telah dihadapinya selama hidup tak terasa sebagai penderitaan. Huh…hebat betul.
Nah begitu juga, ketika Anda mencopet, menipu, mencuri, merampok, atau berbuat apapun, harus meyakinkan. Sekali lagi harus mayakinkan! Kalau tidak meyakinkan, maka celakalah hidup Anda.
Saya kira, saya sendiri tidak mau hidup dalam kubangan kemiskinan. Makanya dengan sangat meyakinkan, saya harus macak bukan sebagai orang miskin. Saya tidak sudi diperbudak kemiskinan. Kemiskinan? Yu Turah, kamu benar, bahwa menjadi miskin itu siksaan. Maka jalan terbaik harus membebaskan diri dari siksaan kemiskinan itu. Sampeyan sangat berani menclathu Korep, suami sampeyan yang sok suci itu. Kemiskinan memang tidak bisa ditolelir. Harus dilawan dengan cara apapun. Kalau sampeyan hanya bisa tombok lotre, ya tombok saja. Dari pada hanya pasrah, menunggu perubahan! Lemah betul kelihatannya.
Orang pasrah itu hanya mengandalkan perasaan. Otaknya sendiri tidak main. Karena perasaan yang berperan, bisanya hanya menduga-duga, tanpa mau bicara apa yang menjadi keresahannya. Terus kalau nasib tidak segera berubah, mulutnya nyinyir menyalahkan orang lain dan sok dirinya suci. Ini tidak adil! Kemiskinan hanya mencetak ketidakadilan.


Download Naskah Ini