Monolog Markendos (sebut aku Upi)

Senin, 12 April 2010 gusmel riyadh

Naskah Teater Monolog
MARKENDOS
(sebut aku Upi)
Karya Yusef Muldiyana

Pasti si keparat itu sudah pergi jauh. Dia nggak ngelihat gua sembunyi di sini. Laki-laki belang! Bukan hidungnya saja yang belang tapi segala-galanya! Terutama otak dan hatinya.
Enak saja dia mau perkosa gua, padahal dia orang punya bini dan anak tiga. Dia bukan cowok yang kemarin, juga bukan cowok yang waktu itu hampir berhasil menelanjangi gua sebelum gua tending “margonda”nya hingga dia terkapar di dekat tanah dekat kebun haji Malik.


(Sejenak ia memandang kekosongan, menerawang, seakan menembus zaman.)

Memang susah juga menjadi wanita cantik, menarik dan sekaligus sexi kayak gua. Suka membuat nekad syahwat laki-laki. Seringkali gua alami peristiwa seperti apa yang terjadi pada malam suram, dikejar-kejar lelaki penuh nafsu yang ingin meremas-remas “Luisfigo” gua, ingin mengobok-obok “Jamhuro”gua, dia juga ingin mengelus-elus “Ahapedeg”gua yang amat mulus dan dia pengen makan “sondrow” gua yang rimbunnya minta ampun bagai lautan pedalaman Afrika, yang bisa membuat laki-laki CERDAS alias ngacer bodas. Tegasnya dia ingin sekali markendos ama gua.

(Nyadar)

Kenapa aku ini? Aku ini kenapa? Aku kenapa? Kok aku jadi ngomong gua-gua seperti orang betawi? Seperti sinetron-sinetron cinta remaja lolot dan ogeb, buatan orang-orang lolot dan ogeb, yang dibiayai oleh produser goblok yang sengaja merusak budaya bangsa kita dengan karya-karya ciptaannya, dengan dalih bahwa apa yang dilakukannya sesuai dengan keseharian kehidupan, sesuai dengan keinginan remaja? padahal sebetulnya hanya untuk mengeruk keuntungan semata. Najis! Najis! Kesenian bukan keseharian bung, kesenian membutuhkan kecerdasan dan keseriusan dan bukan semata-mata untuk mengepulkan asap dapur. Gue elu, gue elu, semua orang gue elu. Orang garut, orang Subang, orang Tasik, orang Ciamis, orang Cianjur, semua gue elu seperti orang Jakarta, ingin dibilang orang Ibukota, keren ya kalau dibilang orang Ibukota? Padahal di Ibukota banyak siasat dan maksiat. Banyak perselisihan dan kekeliruan. Orang Ibukota banyak yang bertingkah! Banyak orang Ibukota yang berdosa. Pantas saja waktu itu Ibukota kebanjiran. Bahkan sering dilanda banjir. Maaf ya, buat orang kota, bukan saya sentiment, tapi kenyataannya gitu kok. Saya kan pengalaman. Saya omong begini bukan tanpa fakta dan data. Bersama teman-teman senasib dan sependeritaan. Du ileeehhh…penderitaan, tapi emang hidup saya penuh derita kok. Penuh cobaan, penuh godaan setan pokoknya penuh lika-liku lah.

(Terdengar ada suara langkah di luar, dia bergerak bersama kardusnya, ia mendekati pintu.)

Tukang Odeng lewat, bukan laki-laki belang tadi.

(Kembali ke tempat semula)

Bertahun-tahun saya tinggal di Ibukota. Bertahun-tahun saya bekerja dan berjuang mencari nafkah di Ibukota, dan apa yang saya dapatkan? Di sana saya mendapat ilmu, terutama ilmu Markendos.

............................

Monolog
MARKENDOS
(sebut aku Upi)
Karya Yusef Muldiyana

Download Naskah Ini