Presiden Kita Tercinta

Rabu, 21 April 2010 gusmel riyadh

Presiden Kita Tercinta
Naskah: Agus Noor



Pelajaran Pertama Menjadi Anjing


Hari masih remang.
Sayup, terdengar suara khas siaran berita pagi dari radio.

Suara Penyiar Radio,
“Berita Pagi Radio Republik Nasional… Serangkaian serangan dan penculikan telah terjadi tengah malam tadi di Ibu Kota Negara. Presiden dikabar mati tertembak oleh para pemberontak. Situasi masih simpang siur. Sementara Kolenel Kalawa Mepaki yang langsung mengambil alih pengamanan Ibu Kota, menegaskan bahwa saat ini situasi telah berangsur-angsur terkendali…”


Sementara panggung masih remang, saat siaran berita itu berkumandang, tampak bermunculan para Anggota Dewan Senator Kota. Dalam kecemasan mereka saling berbincang, bergerombol dalam kerumunan, mencoba mencari tahu keadaan. Sebagian tampak cemas, gugup, dan masih mengantuk. Lalu suara radio itu perlahan melenyap bersamaan dengan panggung yang mulai terang. Saat panggung mulai terang itulah, perlahan-lahan pada bagian belakang panggung muncul gambar besar foto Presiden. Dan panggung pun kini mengesankan sebuah balairung Gedung Dewan Senator Kota yang luas dan megah, dimana para senator itu tampak makin sibuk dengan kasak-kusuk. Balairung itu terlihat luas, dengan pilar-pilar tinggi menjulang. Ada warna-warni yang lembut membias dari gresto lukisan kaca di dinding-dindingnya.

Saat itulah muncul Kolonel Kalawa Mepaki. Terburu, tetapi tak kehilangan kesigapan dan kewaspadaannya. Tampak lusuh, tetapi tetap gagah dalam seragam lapangannya. Seketika balairung senyap. Semua bagai tersedot perhatiannya pada Kolonel Kalawa Mepaki yang memain-mainkan sekeping mata uang. Keping itu dilempar, dan kemudian ditangkapnya lagi, digenggamnya, seperti melakukan undian, seperti berusaha menyakinkan akan nasib baik. Kemudian Kolonel Kalawa Mepaki tersenyum demi melihat keping dalam genggamannya itu, lalu mulai bicara…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Maaf, kalau saya mengganggu waktu sarapan pagi Tuan-tuan dengan undangan yang serba mendadak ini…”

Dengan mata elangnya, Kolonel Kalawa Mepaki menatap para senator itu.

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tuan-tuan pasti sudah mendengar kabar kematian Tuan Presiden…”

Seseorang Senator, langsung memotong sinis,
“Kematian…, atau pembunuhan?! Itu dua hal yang berbeda, Kolonel!



Kolonel Kalawa Mepaki,
“Saya bisa memahami situasi yang penuh kecurigaan seperti ini. Tapi saya bisa menegaskan: Berdasarkan Badan Informasi Intelejen, yang secara kebetulan ada dibawah komando saya, Tuan Presiden memang mati ditembak kaum anarkhis-revolusioner, yang didukung oleh apa yang di sebut Konspirasi Para Jenderal…”

Seseorang senator, yang bernama Awuk, segera bicara lantang,

Awuk,
“Bagaimana dengan informasi lain, yang menyebutkan pasukan perang, yang juga secara kebetulan dibawah komando Anda, terlibat dalam penculikan Presiden itu? Apakah Anda hendak mengesampingkan informasi ini, Kolonel?”

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Tentu, saya akan perhatikan informasi itu…”

Suara Kolonel Kalawa Mepaki terdengar tegas, tetapi juga keras. Seperti menyiratkan tekanan dan ancaman.

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Dalam kekacauan seperti ini, tentu saja ada fihak-fihak yang ingin mengambil keuntungan dengan menyebar informasi yang menyesatkan. Karena itu, hati-hatilah!! Siapa tahu informasi itu menjadi peluru yang mengancam keselamatan Tuan-tuan…”

Kolonel Kalawa Mepaki menatap tajam Awuk. Lalu melemparkan keping koinnya, melihatnya dengar cermat, baru melanjutkan bicara…

Kolonel Kalawa,
“Saya hanya bisa menyarankan, pada Anda, Tuan…”

Awuk,
“Awuk…”

Kolonel Kalawa,
“Tuan Awuk… Tuan boleh mempercayai setiap informasi, sejauh informasi itu tidak bertentangan dengan informasi yang saya berikan. Saya berusaha mengendalikan semua kasak-kusuk yang menyesatkan…”

Seorang Senator,
“Atas dasar apa, Anda merasa memiliki wewenang seperti itu, Kolonel?!”

Sesekali masih terdengar tembakan, nun di luar sana…

Kolonel Kalawa Mepaki,
“Mestikah saya membiarkan semua baku tembak itu terus berlangsung?”
....................

Download Naskah Ini